Sejak naskah diterima, sebelum mulai melihat secara detail mengenai teknik penulisan, editor sudah memasang radar dalam dirinya untuk menangkap sinyal-sinyal yang mengarah kepada adanya pelanggaran norma-norma, baik hukum, adat-istiadat maupun agama. Ini sekilas sudah mulai nampak dari judul, kata pengantar, daftar isi, ilustrasi maupun isi.
Editor tidak harus hapal di luar kepala setiap pasal dan ayat dari semua undang-undang dan peraturan pemerintah atau semua aturan-aturan tidak tertulis dari adat-istiadat suatu suku atau suatu lingkungan sosial tertentu atau ayat-ayat dari kitab-kitab suci semua agama. Editor cukup memahami mengenai norma-norma universal manusia pada umumnya ditambah sedikit mengenai norma hukum, norma adat dan norma agama. Dengan pemahamannya itu dia dapat menangkap sinyal-sinyal yang mengarah kepada adanya pelanggaran terhadap norma-norma tertentu. Baru kemudian dicek lebih rinci di kitab undang-undang dan kitab suci agama yang terkait.
Setelah yakin mengenai hal itu barulah dia berkonsultasi dengan pimpinan perusahaan dan juga pengarang. Bila mungkin dilakukan perbaikan di sana sini. Bila tidak, misalnya karena pengarang menolak untuk mengikuti kebijakan penerbit, maka naskah semenarik apapun sebaiknya ditolak. Ini untuk menghindari dampak negatif di kemudian hari sebagai akibat dari penerbitan buku yang melanggar hukum. Memang banyak pula penerbit yang justru memanfaatkan momen pelanggaran tersebut sebagai sarana promosi perusahaan dalam rangka meningkatkan oplah. Kalau hanya sekedar salah satu staf editornya masuk bui, tetapi perusahaan tetap jalan mungkin tidak menjadi soal, tetapi kalau perusahaan sampai dibredel, maka tentu hal itu sangat merugikan bagi semua pihak.
Di samping itu masalah penjiplakan dari pengarang atau penerbit lain juga harus menjadi perhatian serius dari seorang editor. Jangan sampai naskah yang akan digarapnya itu ternyata naskah jiplakan. Ini akan sangat memalukan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya jika sampai hal itu sampai ke meja hijau.
UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1997
TENTANG HAK CIPTA
Pasal 44 :
(1). Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan dan memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
SUMBER : Napitupulu, Kumpulan Beberapa Peraturan perndang-undangan yang Berkaitan dengan Tugas-tugas Kepolisian, Yuseha, Bekasi, hal. 351
No comments:
Post a Comment
Mohon komentarnya untuk perbaikan setiap langkah kita kedepan.