Sunday, 29 November 2015

SENSASI KERUPUK TRADISIONAL



Berbagai jenis kerupuk sekarang telah berkembang menjadi industri modern baik dari segi bentuk tampilan, rasa, kemasan maupun proses produksinya. Di negara-negara yang tidak mengenal kerupuk sebagai makanan tradisional, misalnya di Saudi Arabia menganggap kerupuk sebagai makanan ringan dan menyebutnya POTATOS seperti chiki-chiki pada umumnya.


Pengaruh globalisasi terhadap kerupuk memang tidak dapat dihindari, khususnya untuk kerupuk sebagai snack, khususnya untuk konsumsi anak-anak.  Hanya saja kerupuk sebagai lauk ataupun camilan teman minum teh sepertinya akan tetap terjaga ketradisionalannya secara alami. Ini karena ada kaitannya dengan masalah selera makan. Memegang kerupuk bulat, lebar, besar di tangan kiri dan tangan kanan menyendok nasi memiliki sensasi tersendiri. Apalagi dengan rasanya yang cenderung original asin-asin gurih dan suaranya yang kriuk-kriuk, jelas tidak bisa diganti dengan jenis makanan apapun di dunia ini. Sensasi antara memegang dan mengunyah ayam goreng, tahu atau tempe sangat jauh berbeda dengan memegang kerupuk.

Oleh karena itu kerupuk tradisional tetap akan bertahan dengan ketrdisionalannya, baik produksi, rasa, kemasan maupun pemasarannya. Dari sekitar lima dasawarsa terakhir, khususnya mengenai kemasan kerupuk hanya bergeser sedikit sekali. Dulu sekitar tahun enampuluhan kalau kita membeli kerupuk, bukan dibungkus plastik seperti sekarang, melainkan disunduki atau ditusuk dan direnceng menggunakan seutas tali dari bambu (dalam bahasa Jawa istilahnya tutus). Baru sejak awal tahun tujupuluhan setelah pemakaian kantong plastik meluas menggantikan kemasan tradisional seperti daun pisang dan daun jati dan tutus. Sampai sekarang tradisi ini sepertinya masih akan bertahan lama.

Masalah kemasan tradisional itu bukan hanya dari pengecer ke pembeli, bahkan dari pabriknya sendiri. Dari pabrik, kerupuk di angkut menuju warung-warung atau rumah makan menggunakan kerombong besar yang muat antara seribu sampai duaribu biji kerupuk. Di warung, pabrik meminjami kaleng kerupuk dengan bentuknya yang khas muat antara 30 biji sampai 50 biji kerupuk seribuan. Dari warung ke pembeli menggunakan kantong plastik atau kresek. Di beberapa daerah di Sumatera seperti di Lubuk Linggau, di Lahat, di Bandar Lampung mereka memajang kerupuk di warungnya bukan di kaleng, melainkan di kantong plastik besar yang digantung di depan warung.

Rasa kerupuk tradisional yang asin-asin gurih itupun susah pula diganti varian rasa yang bermacam-macam, seperti rasa keju, cokelat, barbeque, ayam panggang, dan lain-lain. Akan terasa aneh lidah kita seandainya kita makan siang dengan lauk kerupuk rasa keju atau cokelat. Jadi kemungkinan sulit untuk merobah rasa kerupuk yang original itu. Bisa jadi jika dipaksakan malah produk kerupuk ita dengan rasa modern malah tidak laku di pasaran. Baru digeser sedikit saja dari asin menjadi sedikit manis, para pelanggan sudah protes.


No comments:

Post a Comment

Mohon komentarnya untuk perbaikan setiap langkah kita kedepan.

Blogger Widgets