Pangsa pasar kerupuk rambak lebih luas jika dibandingkan dengan pangsa pasar kerupuk tapioka. Ini bukan hanya dilihat dari aspek konsumen, tetapi juga dari aspek produsen dan aspek pedagang.
1. Konsumen kerupuk rambak lebih luas dari kerupuk tapioka
Konsumen kerupuk rambak lebih luas dari konsumen kerupuk tapioka. Orang makan kerupuk rambak tidak hanya ketika sedang makan, melainkan juga ketika minum teh dan sebagai camilan makanan ringan terutama pada anak-anak. Untuk anak-anak umumnya lebih menyukai memegang bungkusan kerupuk rambak di tangan kiri dan menggunakan tangan kanan untuk memasukkan potongan kerupuk rambak ke dalam mulut. Di samping itu kalau mau berbagi dengan teman-temannya lebih mudah membaginya. Temannya empat bisa, dapat satu-satu. Temannya 8 bisa, dapat setengah potong setengah potong. Cara memegangnya pun lebih enak memegang sebungkus kerupuk rambak dibanding memegang sebuah kerupuk tapioka yang besar dan berminyak. Orang tua pun merasa lebih sreg jika anaknya makan kerupuk rambak karena lebih terjamin higienisnya.
2. Memproduksi kerupuk rambak lebih mudah dan lebih menguntungkan
Bagi produsen memproduksi kerupuk rambak menghemat tenaga dan peralatan. Untuk membuat kerupuk rambah tidak diperlukan tenaga terampil dan terlatih dengan standar gaji tertentu. Orang tidak sekolahpun bisa melakukannya setelah dibriefing sebentar. Dua karyawan tetap sudah cukup. Untuk yang lain seperti tukang rajang dan tukang bungkus bisa menggunakan tenaga borongan. Peralatannya pun tidak aneh-aneh, cukup beberapa buah loyang dan alat pengukus dan penggoreng. Pabrik tidak perlu menyediakan kerombong dan kaleng yang harganya cukup mahal. Biasanya para pedagang dan loper membuat sendiri karung plastik besar yang dibuat dari menggabungkan beberapa karung beras menjadi satu. Untuk alat pengepresan plastik pun mereka membawa sendiri-sendiri dari rumah, yaitu berupa sentir bikinan sendiri.
3. Siapa saja bisa menjadi pedagang kerupuk rambak
Mbak-mbak, ibu-ibu, nenek-nenek bisa berjualan kerupuk rambak di pasar ataupun keliling kampung. Hal ini dimungkinkan karena untuk mengangkut dagangan mereka bisa menggunakan angkot, tidak harus pakai sepeda atau motor. Kalau karung plastik mereka terlalu besar, oleh kernet biasanya ditaruh di atas atap angkot. Jalan kaki pun bisa asal tidak terlalu jauh. Bahkan lingkungan tempat saya tinggal ada sepasang suami isteri yang kedua-duanya tuna netra bisa juga dagang kerupuk rambak keliling dengan jalan kaki. Ada juga sepasang kakek nenek yang sudah amat tua dengan menuntun sepeda mini yang dibelakangnya direnceng puluhan bungkus kerupuk rambak dengan plastik ukuran setengah kiloan.
Sistem pemasaran seperti itu tentu susah dilakukan terhadap kerupuk tapioka.
Almarhumah ibu saya dulu pernah juga berdagang kerupuk rambak di pasar. Karena jarak anatar rumah dan pabrik lumayan jauh bila berjalan kaki, maka tugas mengambil kerupuk rambak dari pabrik diserahkan ke saya. Kalau lewat pematang sawah sekitar 1,5 km. Kalau lewat jalan raya sekitar 2, 5 km. Kadang-kadang pulangnya bisa jam 12.00 malam. Kalau pulang malam tidak berani lewat pematang karena harus melewati kali yang banyak ularnya, maka mau tidak mau harus lewat jalan raya. Dalam keadaan lelah dan kantuk sambil membawa sekarung besar kerupuk rambak di atas kepala. Pernah suatu malam ketika melewati rumah perajin patung batu, tidak sengaja karung saya menyenggol sebuah patung dan roboh. Eee patung tadi ternyata menyenbabkan sederet patung batu yang dijejer ikut roboh juga. Untungnya si pemilik baik hati, tidak marah, malah jadi pelanggan, setiap kali saya lewat selalu beli kerupuk rambak saya.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentarnya untuk perbaikan setiap langkah kita kedepan.